Sabtu, 21 Agustus 2010

Ramadhan dan Bebas Helm?

googleimage.rul
Ramadhan dan Bebas Helm?
by: H.Asrul Hoesein


Judul postingan ini “Ramadhan dan Bebas Helm?”…..memang nampak tidak terintegrasi keduanya, tapi fenomena ini banyak terjadi pada bulan ramadhan ini, khususnya menjelang buka puasa dan shalat tarawih, walau sering terkait diluar bulan puasa juga (khususnya yang akan melaksanakan ibadah seperti shalat jumat). Coba saya intip dari sudut eksistensi keduanya terhadap “hakekat kebutuhan” konsumennya bernama manusia yang punya akal dan rasa.


Sebenarnya prosesi ibadah (puasa dan shalat) dan penggunaan helm ini, bukanlah merupakan hal yang menggangu diantaranya, karena keduanya sangat berfungsi untuk manusia itu sendiri, merupakan kebutuhan manusia, namun yang pasti kenapa keduanya sering diabaikan eksistensinya karena kita manusia tidak memaknainya sebagai sebuah kebutuhan tapi hanya sekedar (memakai) untuk menggugurkan aturan yang telah ada. Jadi masalah ini, kembali ke pokoknya yaitu mindset kita memandang keduanya. Haruslah kita merubah paradigma. karena esensi atas penggunaan helm tersebut sangatlah vital.
Jujur diakui, bahwa di Indonesia ini mungkin pengguna helm hampir mendekati angka 90% orang memakainya karena hanya semata menggugurkan aturan/hukum (menggugurkan UU LLAJR), agar tidak kena denda/tilang, dlsb. atas kewajiban memakai helm saat mengendarai kendaraan (khususnya roda dua). Begitupun pada bulan ramadhan dengan ibadah puasa serta ibadah lainnya, itu sebenarnya, bila kita menelaah secara mendalam makna puasa itu sendiri sebagai sebuah kebutuhan, bukan kita berpuasa karena hanya menggugurkan kewajiban, atau seperti pula pada pelaksanaan shalat, kita harusnya mencapai ke puncak pengertian atau perubahan paradigma bahwa puasa/shalat (ibadah lainnya) sesungguhnya itu merupakan “kebutuhan”, misalnya kalau berpuasa pastilah badan/raga kita sehat, itu sudah dijamin oleh Allah Swt. Jadi kalau ibadah-ibadah tersebut kita menganggapnya sebagai sebuah kebutuhan maka terasa ringanlah dilaksanakan atau dibanding hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Itulah sampai dikatakan dalam hadits bahwa, banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apapun dari puasanya kecuali haus dan lapar saja, begitu pula mereka shalat, hanya mendapatkan  (terasa) capek semata, karena tidak memaknai sampai kepada esensi yang hakiki yaitu ibadahnya adalah sebuah “kebutuhan” sebagai mahluk hidup (material dan inmaterial). sebagaimana terjadi pada penggunaan helm itu sendiri, tidak perlu menunggu teguran atau ditegur oleh polisi.
Nah yang paling lucu menurut saya pribadi (entah sobat semuanya), khususnya di bulan ramadhan (menjelang buka puasa dan waktu shalat tarawih) ini atau mengendarai kendaraan menuju masjid misalnya (di hari jumat khususnya), kelihatannya penggunaan helm tidak dipermasalahkan, termasuk polisi mentolerir hal itu (bebas tidak menggunakan helm, katanya, karena pakai kopiah atau mukena). Fenomena ini hampir didapati di seluruh Indonesia.
Sehubungan dengan ketaatan pada ulil amri (pemerintah) ini, Rasulullah bersabda, yang artinya;”Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemerintah/ulil amri) dalam hal yang ia suka ataupun tidak, kecuali bila ia diperintah dalam hal maksiat. Jika ia diperintah dalam kemaksiatan, maka ia tidak boleh mendengar dan tidak pula taat.”(HR.Muslim).
Kenapa helm diabaikan pada saat-saat ini, karena jelaslah bahwa kita manusia belum menyadari sepenuhnya hakekat dari eksistensi/pemakaian helm dan ibadah itu sendiri. Tidak pakai helm, jelaslah melanggar aturan (termasuk aturan badan/fisik/kepala kita dan pula aturan lalu lintas) artinya membohongi diri sendiri, mungkin ini kita tidak sadari, seakan kalau kita puasa atau melaksanakan ibadah lainnya maka gugur pula dengan sendirinya aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah (ulil amri), atau harus mendapat fasilitas karena melaksanakan ibadah (puasa dan shalat), kecuali fasilitas atau dispensasi langsung dari Allah Swt, misalnya seperti; meringkas shalat pada kondisi musafir (rugilah kalau kita tidak menerima bonus itu).
Mungkin dalam hal ini walau ada dispensasi dari polisi, namun kita mestinya menyadari akan “kebutuhan” dan terlebih menjaga hakekat dari ibadah kita sendiri, bukankah kalau melanggar hukum akan mengurangi pahala atas ibadah kita. Termasuk pada saat kita berpuasa, bukan cuma menahan lapar dan haus, tapi termasuk kita harusnya mentaati aturan-aturan baik yang turun dari Allah Swt maupun dari pemerintah. Yang pasti mari kita memaknai ibadah itu sendiri (termasuk pemakaian helm) sampai ketingkat yang paling tinggi yaitu merupakan sebuah “kebutuhan”. Bila sampai ke tingkat ini, maka terasa ringan dan tentu kita akan sabar mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam aturan tersebut, tanpa menanti teguran. Jangan sembarang menerima dispensasi (termasuk dispensasi pemakaian helm dari polisi), karena itu belum tentu baik bagi kita, namun tidak semua polisi di daerah mengizinkan (toleransi) pemakaian helm di bulan puasa ini, namun ada juga yang mengabaikannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah[2]:216).
Esensi dari masalah tersebut sesungguhnya merupakan kewajiban yang mencakup tiga tingkatan pokok tanggung jawab seseorang, yaitu tanggung jawab terhadap Allah Swt, tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan tanggung jawab terhadap orang lain. Seluruh kewajiban dan tanggung jawab ini adalah ketentuan syariat. Pelaksanaannya akan diterima oleh Allah jika seseorang mengerjakannya dengan niat yang ikhlas, serta dengan tekad kuat agar memperoleh ridha dan kasih sayang Allah Swt. Ketiga tingkatan tanggung jawab tersebut tidak dapat dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Sebab, semuanya memiliki korelasi yang inheren. Dengan demikian, semuanya mesti dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan kapasitasnya.
Selamat berpuasa……..Salam Buat sobat semuanya…….Amin

Tidak ada komentar: