Jumat, 06 Agustus 2010

Hambatan Mengotonomikan Desa


Kenapa pemekaran kabupaten dihentikan sementara ? atau bisa jadi seterusnya !!! itu semua karena tidak suksesnya pelaksanaan Otonomi Daerah (otoda), itu disebabkan oleh factor utama (esensi) karena tidak adanya penguatan pada Desa (otonomi desa) itu sendiri. Ego sektoral yang terlalu kuat, mulai pemerintaha kabupaten sampai pemerintah pusat.  

Hal ini semua yang menjadi pemicu keresahan (pendidikan,ekonomi, politik, social, tenaga kerja) di masyarakat yang berkepanjangan. Juga menjadikan program pemerintah tidak capai sasaran (sebagaimana peruntukannya), hampir semua mati suri. Termasuk proses demoratisasi dan reformasi akan pasti berjalan pincang. Karena tidak terjadi proses yang bersamaan di tingkat bawah (desa). Jadinya desa tetap termarjinalkan. Tetap saja rakyat (sebagian besar tinggal di Desa) akan jadi korban pembodohan, korban kemunafikan. Nurut apa kata paduka yang mulia, celakalah bangsa yang cerdas ini. Akan mati kelaparan (rakyat Indonesia) di lumbung padi.(Negeri agraris) Namun tetap kita harus optimis dan lakukan perubahan untuk berubah.

Sebagai sebuah entitas social politik keberadaan desa lebih dahulu dibanding keberadaan sebuah Negara. (tidak ada negara tanpa kumpulan desa-desa). Namun sekali lagi meskipun dengan usia keberadaan yang sudah tua ini tidak membuat perubahan kehidupan di desa menjadi lebih baik tapi justru semakin membebani desa oleh berbagai kekuatan diatasnya, rakyat semakin termarjinalkan dan menjadi korban syahwat politik para penguasa, entah itu eksekutif, legislative, maupun yudikatif  termasuk konco-konconya (maaf, Janganlah selalu sembunyi dibalik “oknum”, ini juga salah satu penomena proses pembodohan di negeri ini). Sengaja saya beri “warna merah” kata oknum diatas, supaya mereka-mereka itu sadar yang sebenar-benarnya sadar, jangan sok jaga institusi, tapi ternyata “korupsi berjamaah” dibalik institusinya sendiri……naudzubillah.

Kedudukan desa menjadi pintu masuk pertama dan utama dalam membicarakan masalah desa, termasuk masalah kesejahteraan rakyat, disana pintu masuknya, bukan di Jakarta (Senayan dan Istana Negara atau Cikeas).  Bagaimanapun kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan desa, hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun sumber‐sumber keuangan desa. Kejelasan kedudukan desa juga menjadi bagian dan mendukung upaya reformasi aset dan akses desa terhadap sumberdaya ekonomi‐politik yang selama ini menjadi persoalan sangat serius.
Sebenarnya Otonomi Daerah (otoda) yang digulirkan sejak reformasi dengan dikeluarkannya UU.No 22/1999 dan dirubah menjadi UU. No 32/2004 diharapkan mampu menjadi jalan untuk demokratisasi, dengan meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan dan implementasi keputusan dan kebijakan di daerah sehingga terwujudnya local good governance dengan ciri-ciri pemerintah yang bersih, efisien,transparan, akuntabel dan berpihak pada yang miskin (responsive), tapi semua itu jauh panggang dari api, karena otoda terputus di kab/kota. Bupati dan jajarannya menjadi raja-raja kecil di daerah.

Selain itu diharapkan mampu menjadi sarana pemberdayaan dan pendidikan masyarakat untuk dirinya sendiri agar menjadi masyarakat yang otonom secara politik dan mandiri secara ekonomi. Otoda seharusnya menjadi kewenangan daerah untuk mendorong kemandirian social kemasyarakatannya di tingkat desa sebagai pelaksana utamanya (otonomi desa). Jangan cuma menghadirkan Kepala Desa pada musrembangda hanya formalitas saja.

Karena tanpa itu, semua program akan menjadi mubadzir saja, karena masyarakat tidak terlibat dari awal, sementara uang yang akan dipergunakan adalah uangnya Desa (rakyat). Kenapa program konversi minyak tanah ke gas menjadi debat-table sekarang ini; dikatakan kurang sosialisasilah, gagallah, nah akhirnya tabung gas meledak dimana-mana, dll. Sekarang menjadi polemik tanpa akhir, karena program tersebut titik starnya bukan di Desa, sementara yang menjadi penggunanya yang terbanyak adalah Desa itu sendiri. Kalau otonomi desa berjalan, maka tidak ada kata “kurang sosialisai” karena mereka dengan sadar akan mensosialisasi dirinya sendiri.

Namun fakta yang ada justru menunjukkan bahwa otoda tidak mengalami kemajuan yang berarti, justru menujukkan gejala kesembrautan dalam tata pemerintahan yang ada, misalnya justru semakin maraknya korupsi di daerah dan belum efektifnya pelayanan yang diberikan, dan pembangunan di daerah juga belum memberikan dampak yang berarti. Hal ini dikarenakan Otonomi Daerah hanya dipahami sebagai otonominya Pemerintah Daerah (perspektif yang sangat birokratis) bukan otonominya rakyat di daerah .

Sejak dikeluarkannya UU no 22/1999. desa seolah-olah mengalami kelahiran kembali, hal ini bisa dilihat dari definisinya yakni sebagai ‘kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat ……..” artinya desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dirinya secara politik. Akan tetapi harus diakui secara jujur bahwa ketertindasan yang dialami oleh Desa membuat desa saat ini tidaklah sama dengan desa yang kita bayangkan pada zaman dahulu (sebelum orde baru). Itu hanya mimpi di siang bolong. 
Hambatan Otonomi Desa 
Problem internal yang dialami desa atau kampung adalah masyarakat desa terutama aparatnya sangatlah tidak percaya diri untuk mengelola desanya dengan terobosan yang berani dan berarti. Takut dikatakan mendahului Bupati, ini klise. Pemerintah desa dalam mengelola desanya menjadi sangat birokratis tergantung juklak dan juknis dari kekuasaan di atasnya yaitu pemerintah kabupaten.
Kenapa ? Hal ini mempunyai sejarah panjang dimana telah terjadi proses pembodohan dan proses depowering terhadap desa selama berpuluh tahun, dan desa sengaja dikondisikan agar selalu takut dan penurut pada kekuasaan diatasnya (hal ini merupakan salah satu dampak dari UU no5/79 tentang desa), proses panjang dimana proses depolitisasi, desa dibuat tidak berdaya dan direbut hak-haknya.
dan masalah kemudian adalah, 
Problem eksternal yang dihadapi desa adalah dari sisi Pemerintah Daerah yang tidak siap melakukan pemberdayaan kepada pemerintah desa. Para Bupati, enggan melepas sebagian kekuasaannya kepada Kepala Desanya. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya dibentuk badan atau lembaga di tiap desa, namun sesudah itu tidak ditindaklanjuti dengan pemberdayaan. Ini juga merupakan kekeliruan pemerintah, karena tidak ada pembekalan organisasi di masyarakat. Makanya lembaga yang dibentuk itu hanya sekedar formalitas atau papan nama saja.

Kita bisa lihat dibentuk BPD dan LPM tapi ternyata hanya sebatas dibentuk saja. Sehingga akhirnya lembaga-lembaga desa tersebut seolah-olah tidak punya tuan dan harus memberdayakan dirinya sendiri. Inisiatif pemberdayaan ini cukup baik sebagai sebuah inisiatif dari masyarakat, tapi tidak baik dari sisi tugas dan tanggungjawab dari pemerintah daerah. Karena setiap tahunnya anggaran untuk pemberdayaan aparat dan lembaga-lembaga desa selalu dianggarkan. Hal ini menunjukkan pemerintah daerah belum melakukan fungsinya dengan baik. Ini merupakan salah satu kegagalan otoda yang juga termasuk kegagalan pembangunan daerah (kabupaten) pemekaran.
Otonomi desa yang ideal meliputi tiga aspek, yakni desentralisasi dalam hal kewenangan, desentralisasi dalam hal keuangan dan desentralisasi dalam hal pembangunan. Artinya desa secara otonom mengelola kewenangan penuh yang dimilikinya untuk melakukan pengelolaaan tata pemerintahannya.

Kemudian desa juga dengan otonom mengelola keuangan yang dimiliki baik dari PADesnya maupun hak desa dari Alokasi Dana Desa (ADD), pajak dan retribusi maupun bantuan-bantuan lain yang dimiliki desa sebagai modal ekonomi di desa. Serta kewenangan mengelola sumber daya alam yang ada di desa. Kemudian desa secara otonom juga akan melakukan pembangunan untuk kampungnya, terutama untuk melakukan pemberdayaan dan perencanaan desa. Dan semua ini harus dilakukan tanpa intervensi dari pihak-pihak supra desa. Kemudian fungsi dari pemerintah daerah dalam hal ini adalah sebagai fasilitator terhadap proses yang ada. Jadi dinas dan instansi yang ada di daerah tidak lagi sebagai implementator proyek sebagaimana selama ini terjadi, karena masyarakat sendiri yang akan menjadi perencana, pelaksana dan pengawas proyek pembangunan yang ada.
Pemerintahan Desa merupakan Unit Terdepan, Harus Diberdayakan. 

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan sub system penyelenggaraan Pemerintah Daerah, dan Pemerintahan Desa merupakan unit terdepan dalam pelayanan kepada masyarakat, serta menjadi tonggak strategis untuk keberhasilan semua program.

Desa akan menjadi garis terdepan pemerintahan, jika Desa mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan baik. Hal ini yang menjadi barometer, apa pemerintah itu peduli atau tidak dengan rakyatnya. Bukan dengan cara meninibobokkan rakyat dengan berbagai program populis, seperti program BLT, PNPM. Sebenarnya program itu bagus, tapi yang menjadikan gagal karena program tersebut keluar dari visi-misinya, strategi yang keliru, karena sarat kepentingan. Kenapa ? karena bukan masyarakat yang merencanakan program itu, perlu apa tidak, semua by design dari actor yang berasal dari Pemerintah Kabupaten, masyarakat di desa, melaksanakan sekedar seremoni saja. Lalu ironisnya dalam aplikasi program tersebut, hampir tidak ada pemantauan dan evaluasi di lapangan.

UU. No. 32/2004 mengakui adanya Otonomi Desa, dan dengan adanya otonomi desa tersebut diharapkan Desa akan menjadi mandiri. Kemandirin itu dipengaruhi beberapa faktor seperti, desentralisasi kewenangan, penguatan keuangan Desa, penguatan kelembagaan Desa dan kelembagaan masyarakat, kapasitas dan perangkat Desa (SDM) serta pemberdayaan masyarakat desa.
Solusi Percepatan Otonomi Desa.
Idealnya yang perlu dimiliki Desa/Kampung agar penguatan otonomi desa tercapai dan akhirnya menuju desa mandiri adalah sebagai berikut:
  1. Kewenangan untuk turut serta menentukan kebijakan kabupaten yang menyangkut desa. Segera diterbitkan Peraturan Daerah Kabupaten tentang penyerahan urusan yang menjadi kewenangan kabupaten yang perlu diserahkan kepada desa, agar menjadi pedoman yang jelas bagi desa untuk mengimplementasikan kewenangan tersebut.
  2. Kewenangan untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan otonomi desa dan mengelola SDMnya serta pendapatan desa. Diperlukan Kebijakan Pemerintah Kabupaten maupun Lembaga Profesional seperti Perguruan Tinggi /LSM-NGO untuk : (a) meningkatkan profesionalitas perangkat desa dan anggota Badan Pertimbangan Desa (legislatifnya desa) agar mampu menjalankan fungsi masing-masing, dan mampu mengelola sumber pendapatan desa secara profesional, (b) memberi keleluasaan kepada desa untuk mengembangkan kreatifitas dan inisiatif dalam menjalankan otonomi desa.
  3. Kewenangan untuk menolak tugas-tugas pembantuan yang tidak sesuai dengan aspirasi dan daya dukung desa, dan penolakan tidak diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penghasilan aparat melalui alternatif : (a) Pengembangan Badan Usaha Milik Desa, bagi desa yang profesional ke arah itu, atau (b) mengangkat perangkat desa menjadi PNS untuk desa-desa yang profesional berkembang ke arah perubahan status menjadi kelurahan. (c) Menciptakan ekonomi kreatif di Desa dengan motivasi diri yang kuat, bukan karena by design.
Oleh karena itu, upaya memperkuat Desa merupakan langkah untuk mempercepat terwujudnya Otonomi Desa dan kesejahteraan masyarakat, sebagai tujuan otonomi daerah dan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan masyarakat.

Sederhana saja usulan saya adalah; Harus bersamaan diadakan reformasi birokrasi (hilir) dan reformasi otonomi daerah dengan Penguatan Desa menuju Otonomi Desa (hulu). Lakukan secara bersamaan, posisi hulu-hilirnya tersebut diatas mau dibalik terserah, yang penting “niat mensejahterahkan dan memandirikan rakyat”. Karena kalau tidak demikian, akan menjadi wacana saja “pro rakyat” itu. Akhirnya rakyat akan tetap tidur (termarjinalkan) dan tidur lagi……dan lagi.
Ayo….. Bangun Otoda dari Desa.

Tidak ada komentar: