Jumat, 06 Agustus 2010

Kyai Juga Bisa Mengajari Bertani

Siapa bilang Kyai hanya bisa mengajari mengaji? Kyai juga bisa mengajari bertani sekaligus menjadi entrepreneur. Inilah pelajaran berharga yang bisa diambil dari Kyai Fuad Affandi, pengasuh pondok pesantren Al-Ittifaq di Ciburial, Alamendah, Rancabali, Bandung. Kyai yang lebih suka dipanggil Mang Haji ini secara evolusioner (1980-an hingga kini) membangun basis ekonomi pertanian di pesantrennya. Dari situ perlahan-lahan namun pasti menyebar ke seluruh kampung hingga kampung Ciburial menjadi kampung agrobisinis. Oleh karena itu, Mang Haji begitu percaya diri mengatakan tarekat yang diikutinya adalah “tarekat sayuriah”. 

Mang Haji memang telah membuktikan bahwa bertani pun bisa mensejahterakan. Ia seperti sedang mematahkan teori involusi pertanian seperti yang dibilang Clifford Gerzt. Gertz mengatakan, bahwa pertanian di Jawa lambat laun memiskinkan penduduknya. Namun Mang Haji bukan seorang teoritikus akademik macam Gertz , Mang Haji sendiri menolak dikatakan sebagai intelektual. Ia menuturkan sendiri bahwa dirinya adalah seorang kyai yang bertani, yang mengaji Al-Quran, Hadists sekaligus belajar dari alam.
 
Dari buku ini kita dapat memperoleh satu pelajaran bahwa hidup dan alam sekitar adalah laboratorium yang sangat berharga. Misalkan saja ketika Mang Haji menemukan satu jenis insektisida yang dia beri nama Innabat (Insektisida NabatI). Insektisida ini berbahan kacang, bawang, temu lawak, cabai dan air. Semua bahan tersebut sangat murah karena bisa didapat di lingkungan kampung Ciburial. Dari ujicoba yang dilakukan Mang Haji, pupuk tersebut ternyata ampuh untuk mengusir hama tanaman.

Salah satu yang paling mencengangkan adalah ketika ia menemukan pupuk alami dari air liur! Bak Newton yang kejatuhan buah apel saat menemukan teori gravitasi, demikian pula dengan Mang Haji ini. Ia menemukan ide itu saat buang hajat. Ia lantas berpikir makanan yang ia makan sehari sebelumnya begitu cepat membusuk di dalam perut. Berarti, bakteri di dalam perut jauh lebih cepat membusukkan kotoran ketimbang bakteri lain. Sebagaimana diketahui, bakteri tersebut keluar mencari remah makanan di mulut di saat orang sedang tidur.

Pagi harinya, ia sediakan ember untuk dijadikan tempat air liur bagi santri-santrinya. Dari air liur yang terkumpul itulah kemudian dijadikan pembusuk pupuk kandang. Alhasil pupuk kandang yang biasa membusuk kurang lebih sebulan, dengan pembusuk air liur tersebut membusuk dalam tempo 3 hari. Pupuk kandang yang telah membusuk ini kemudian digunakan untuk memupuk sayuran.
Tekat Mang Haji untuk bertani organik terbukti membuahkan hasil. Pertanian jenis ini terbukti memangkas ongkos produksi, terutama pada pupuk. Keuntungan lain, petani bisa memproduksi sendiri pupuk mereka tanpa tergantung dari pabrik atau subsidi pemerintah. Imbas keuntungan dari pupuk organik yang ini adalah pada hasil produksi yang lebih berkualitas, tidak cepat busuk, dan hasilnya lebih banyak. Dengan demikian keuntungan finansial bisa lebih berlipat jika pun rugi tanggungan kerugian tidak sebesar jika menggunakan pupuk pabrikan.

Sebagaimana dikatakan Mang Haji dalam buku yang ditulis Faiz Manshur ini permasalahan yang dihadapi petani adalah ketidaktahuan mereka tentang mekanisme pasar, pengemasan produk, hingga pemasaran. Umumnya petani di sekitar pesantrennya (dan mungkin hamper semua petani di Indonesia) buta pada mekanisme pasar. Oleh karena itulah Mang Haji memberikan jawaban terhadap masalah ini.

Semua hasil pertanian baik itu sayuran maupun buah-buahan dipilah berdasar kualitas, A, B, dan C. Kualitas A dijual ke supermarket dan dikemas dengan modern, kualitas B dijual ke pasar tradisional, sedangkan kualitas C dikonsumsi sendiri. Dengan pemilahan kualitas produk ini, produk pertanian pun memiliki nilai lebih yang meningkatkan nilai jual. Ujung-ujungnya nyatanya keuntungan dapat diraih.

Lantas bagaimana dengan masalah modal finansial yang biasanya menjadi kendala petani? Mang Haji menjawab persoalan tersebut dengan mendirikan koperasi. Koperasi ini, menurutnya, menjadi salah satu jawaban bagi masalah pasar dan penggalangan kekuatan ekonomi kecil. Meskipun pada mula ketika koperasi itu didirikan banyak tetangganya yang pesimis terhadap ide tersebut. Mang Haji sadar bahwa pesimisme para tetangganya itu beralasan, koperasi sekarang hanya menguntungkan para pengurus dan tidak bagi anggota. Tapi ia tetap bertekat bahwa koperasi harus berdiri, yang salah bukan koperasi dan sistemnya melainkan orang yang menjalakannya. Secara evolusioner ide itu diterima dan para tetangga merasakan keuntungan menjadi anggota koperasi.

Dengan segenap karya hidup Mang Haji ini maka tak bisa diragukan lagi jika ia mendapatkan sederet penghargaan bergengsi, mulai darri Satya Lencana Wirakarya dari Presiden BJ Habibie (1988), Kalpataru dari pemerintahan Megawati Soekarno Puti (2003) hingga Good Agricultural Pratices dari Menteri Pertanian Anton Apriantono (2006). Sekali lagi, inilah potret kyai yang tak hanya mengajari kitab kuning, kyai yang menggerakkan umatnay untuk lepas dari kemiskinan, sekaligus mendidik akhlak. Sebuah perpaduan keilmuan lengkap yang dapat dipelajari oleh siapapun tanpa memandang ras atau agama. 
Akhirul kalam, sudahkah Anda membaca buku ini? Jika Anda puas dengan timbangan buku ini, Anda termasuk golongan yang merugi sebab masih banyak pelajaran berharga dari Mang Haji yang disajikan buku ini. Resensi oleh Agung D.Hartanto (Alumni Sejarah UN Jogjakarta).


Judul Buku: Entrepreneur Organik (Rahasia Sukses KH Fuad Affandi bersama pesantren dan Tarekat “Sayuriah”-nya) Penulis: Faiz Manshur, Editor: Mathori A-Elwa, Pengantar: Dr. Bisri Effendi, Prof.Dr. Ahmad Syafii Maarif, Prof.Dr. Sri-Edi Swasono. Penerbit: Nuansa Cendekia (Anggota IKAPI) Bandung bekerjasama dengan Yayasan Al-Ittifaq Bandung, (LM3 Al-Ittifaq) Cetakan Pertama September 2009. Tebal: 390 hlm (dengan kertas berkualitas dan cetak warna bagian dalam 32 hlm). Harga (Rp88.000).

Tidak ada komentar: