Kamis, 05 Agustus 2010

Revisi Kebijakan Pengelolaan Sampah Kota di Indonesia

PERMASALAHAN sampah menyimpan pertanyaan dan misteri besar, bagaimanakah strategi dan langkah-langkah penyelesaiannya? Namun sampah sebenarnya sangat unik dan menarik untuk di kaji lebih dalam.
Pemerintah pun telah mengeluarkan kebijakan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah serta kebijakan lainnya yang menyusul kebijakan tersebut, namun hal ini belumlah cukup bila pemerintah tidak mengarahkan atau mengajarkan kepada masyarakat bagaimana seharusnya sampah itu di kelola, atau setidaknya pemerintah harus berupaya mensosialisasi (secara massif) akan perlunya perubahan paradigma tentang ‘mengelola’ sampah, bahwa sampah itu bukan masalah tapi sebuah anugerah dan berkah yang harus diberdayakan.

Upaya pemerintah kab/kota di Indonesia untuk mencari tempat pembuangan sampah yang representatif mengalami kesulitan, karena pendekatannya bukan mengolah, melainkan membuang sampah. Pada akhirnya hanya berupaya mencari lahan kosong dan kemudian berpindah lagi jika telah penuh atau dianggap tidak layak. Ini hampir menyerupai gaya petani nomaden yang suka berpindah-pindah lahan untuk bercocok tanam. Kalaupun saat ini ditemukan, namun memang sering ada beberapa daerah yang menata TPA atau wilayah lainnya, seperti TPS, Pasar Tradisional atau sumber sampah lainnya, tapi hanya sekedar menghadapi sebuah acara, even atau semacam penilaian Piala Adipura, namun setelah itu timbul pertanyaan, kenapa pengelolaan tidak berkelanjutan (sustainable)
Sampah yang setiap hari dihasilkan, baik dari rumah tangga, pasar dan lain-lain, adalah sumber daya ekonomi yang mesti dijaga dan dikelola dengan baik.
Untuk ke depan, diharapkan adanya perubahan-perubahan kebijakan dan langkah yang mendasar dari pemerintah kab/kota. Paling tidak empat agenda yang saya soroti terkait dengan perbaikan pengelolaan sampah kota ini.

Pertama, pemerintah kota mestinya sudah mulai mempersiapkan diri untuk segera menghentikan bentuk sentralisasi dalam pengelolaan sampah menjadi bentuk sentralisasi desentralisasi (se-Desentralisasi). Maka upayanya, segera menerapkan pola se-desentralisasi-kan dan privatisasikan pengelolaan sampah kota kepada pihak swasta.

Langkahnya saya kira, dengan menumbuhkan dan mengikutsertakan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang sanggup mengelola sampah kota di lingkungan setingkat kelurahan/kecamatan. Sampai dengan tahap ini, perusahaan daerah (PD) atau Dinas Kebersihan Kab/Kota masih bisa dipertahankan keberadaannya, hanya fungsinya khusus untuk menangani sampah kota dari sumber-sumber paling potensial, seperti pasar dll.

Sedangkan target pihak UKM (swasta) tadi adalah minimal sisa sampah yang selama ini tidak bisa terangkut ke TPA yang ada dapat diselesaikan (dikelola). Dengan pola ini, pemberian peran kepada pihak swasta harus dilakukan dengan kebijakan yang sama, termasuk kepada PD Kebersihan sendiri. Artinya, sisi bisnisnya diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak boleh ada intervensi yang memihak kepada salah satu pihak.
Pola yang lain seperti Dinas Kebersihan atau PD Kebersihan hendaknya diarahkan menjadi salah satu perusahaan pemasok dan pengolah sampah daur ulang saja, namanya pun perlu diubah supaya lebih jelas menjadi PD Pengelola Sampah Kota dengan spesifikasi dan kompetensi bidang usahanya yaitu jasa pemasok dan pengolah sampah daur ulang, bisa berupa produksi pupuk kompos (sampah organik) atau produksi plastic film grade dan non film grade (sampah anorganik), nanti industri ini yang mendukung pengelolaan sampah kota oleh masyarakat (home industri) yang didirikan di wilayahnya atau wilayah sumber sampah, ini juga bisa disebut pola usaha inti-plasma, Dinas Kebersihan atau PD. Kebersihan sebagai usaha inti dan masyarakat pengelola sebagai usaha plasma.

Sedangkan peran pengolah sampah organik diberikan sepenuhnya kepada pengusaha/produsen kompos skala menengah di lingkungan setingkat kelurahan atau kecamatan, yang memiliki kompetensi dan bidang usaha yang jelas pula, baik sisi produksi dan pemasarannya. Atau setidaknya pemerintah menfasilitasi masyarakat atau kelompok usaha masyarakat (KUB) dengan bentuk pelatihan pegelolaan sampah organik khususnya sekaligus memberi bantuan peralatan skala teknologi tepat guna (seperti Komposter BioPhoskko, alat produksi sampah organik menjadi pupuk organik manual, jenis teknologi ini dapat dilihat di klik di sini), hal ini penulis sarankan sebagai bentuk pengelolaan yang ideal (se-Desentralisasi) karena berbasis masyarakat (komunal), dimana masyarakat sendiri sebagai produsen sampah, sekaligus sebagai produsen pupuk organic berbahan baku sampah kota.
Sangat luar biasa, jika kebijakan dalam pengelolaan sampah kota pun dilakukan demikian. Masyarakat pasti tidak perlu lagi dipungut biaya-biaya apa pun (retribusi) untuk sampah, bahkan pihak pengelola dari perusahaan pengolah kompos/perusahaan daur ulang disyaratkan dapat menyediakan minimal 2-3 ton sampah untuk warga masyarakat, masing-masing untuk sampah organik, anorganik, dan sampah-sampah berbahaya lainnya (sampah B3). Sampah yang telah terpilah dibeli oleh perusahaan tersebut, juga masyarakat diberi reward karena misalnya, telah berhasil memilah sampah organik dan anorganik serta sampah berbahaya lain dari rumah tangganya dengan baik dan kontinu sesuai dengan permintaan pihak pengelola sampah, hal ini juga sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah tersebut.
Pola Se-Desentralisasi dalam Kelola Sampah
Sistem sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan sampah kota di suatu lokasi atau TPA. Sementara sistem desentralisasi adalah membagi tempat pembuangan sampah kota di beberapa TPS (Tempat Penampungan sampah Sementara). Adapun sistem sentralisasi-desentralisasi atau disingkat se-desentralisasi adalah menggabungkan kedua sistem tersebut dengan keberadaan TPA dan TPS. Penimbunan sampah hanya dengan mengandalkan sistem sentralisasi jelas tidak tepat karena membutuhkan lahan yang sangat luas. Namun, sistem desentralisasi bukan jawaban yang tepat karena volume sampah yang sangat besar tidak akan mampu ditampung oleh TPS yang tersebar di mana-mana. Bahkan, bukan tidak mungkin malah menyebarkan polusi ke banyak titik di kota tersebut.
Bentuk pengelolaan sampah yang kebanyakan dilaksanakan kab/kota di Indonesia adalah pola sentralisasi dengan mengandalkan pengelolaan di TPA seperti Open dumping, Controlled landfill, atau Sanitary Landfill (khusus pola open dumping harus dihentikan secara perlahan, sesuai kebijakan pemerintah pusat yang mengacu pada UU No. 18 Tahun 2008) setidaknya pada tahun 2013 pola open dumping harus ditiadakan pelaksanaan di TPA, diganti ke pola kreatif berbasis masyarakat non konglomerasi.
Pengelolaan sampah kota yang ideal menurut penulis yaitu pola se-Desentralisasi, maksudnya masyarakat dengan bimbingan pemerintah (pelatihan atau model) membentuk Instalasi Pengelolaan Sampah Organik (IPSO) disetiap sumber sampah yang dominan (tahap awal) lalu pemerintah (Dinas Kebersihan/PD Kebersihan) membentuk PD. Industri Daur Ulang Sampah semacam Instalasi Pengelolaan Sampak Kota (IPSK) untuk menunjang dan membantu pemasaran dari IPSO yang telah didirikan oleh kelompok masyarakat, ini penulis sering sebut sebagai pola komunal dalam mensiasati problem sampah ini.
Sebagaimana pengamatan penulis bahwa sistem se-desentralisasi memiliki kemampuan tertinggi dalam mengatasi kendala pengelolaan sampah kota. Dari kemungkinan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah kota di kota-kota besar, ternyata sistem se-desentralisasi yang paling mampu mengatasi kendala tersebut. Oleh karena itu, untuk kota-kota besar yang jumlah penduduknya banyak seperti: Jakarta dan kota satelitnya serta ibu kota profinsi lainnya di Indonesia seperti; Jakarta, Surabaya, Palembang, Semarang, Medan, Makassar, Surabaya, Bandung, Manado, Kendari, dll. Sistem ini adalah yang paling sesuai, seyogyanya sistem tersebut diterapkan secara bertahap untuk membiasakan masyarakat dalam menghadapi era baru pengolahan sampah kota di wilayahnya.
Catatan:
Bagi pemerintah Kab/Kota di Indonesia, perusahaan BUMN dan swasta nasional, serta Kelompok Tani (KTNA/LM3 dan kelompok lainnya) dan masyarakat pada umumnya, yang bermaksud akan mengelola sampah menjadi pupuk organik berbasis masyarakat atau pengelolaan dengan pola se-Desentralisasi atau pola plasma, bisa menghubungi penulis di 085215497331, atau tinggalkan pesan di komentar/tanggapan dibawah ini, atau email ke klik di sini, atau link ke gerai online penulis di Kencana Group (Posko Hijau). Kami siap memberi inisiasi (narasumber) berupa presentase, pelatihan, demoplot di daerah/wilayah masing-masing. Untuk proposal pengelolaan sampah menjadi pupuk organik bisa download di Klik di sini atau di sini atau di sini.
Stop Global Warming
Terima kasih dan Salam Hijau Indonesia……….

Tidak ada komentar: